Selasa, 22 April 2008

GURU, ANDRAGOGI, DAN HOMESCHOOLING

Sebagian orang bisa jadi bertanya, mungkinkah homeschooling dilakukan di sekolah. Dengan kata lain, apakah mungkin membangun sistuasi sekolah layaknya situasi di rumah sendiri. Pertanyaan di atas adalah wajar, tatkala melihat fakta yang sangat berbeda seratus persen antara sekolah dan rumah. Di rumah anak dapat bebas melakukan apa saja. Sedangkan di sekolah anak merasa dibelenggu oleh peraturan sekolah yang sangat ketat. Belum lagi bertemu guru yang killer (pembunuh berdarah dingin). Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan fakta, pada saat jam pelajaran anak berada di luar sekolah karena lebih menyenangkan.
Menurut Kak Seto (pakar pendidikan anak), bahwa yang dimaksud dengan homeschooling adalah membangun sistuasi belajar sebagaimana di rumah. Hal ini dapat dipahami, homeschooling tidak harus berada di rumah, tetapi sejauhmana kemampuan seorang guru dan staf sekolah membangun nuansa belajar seperti saat di rumah. Sehingga, anak-anak betah dan kerasan untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan. Berarti di sini juga mengisyaratkan, bahwa guru merupakan kunci untuk membangun homeschooling tersebut.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan, minimal 2 (dua) hal yang mesti harus ada dalam diri seorang guru, yakni integritas diri guru dan penguasaan terhadap materi yang akan disampikan. Pertama, integritas diri guru. Pada tahap ini, guru merupakan sosok yang harus bisa menjadi uswah (tauladan) bagi anak-anak didiknya. Tidak salah, jika ada ungkapan “guru adalah yang digugu dan ditiru”. Jika guru tidak mampu menjadi uswah sebenarnya dia telah gagal menjadi seorang guru. Namun, dalam prakteknya, seringkali ditemukan kesalahan tafsir terhadap konsep integritas ini. Hanya karena menjaga wibawa, guru tidak jarang memposisikan sebagai orang yang “menakutkan”, seperti sulit tersenyum apalagi tertawa, tidak ngobrol-ngobrol sama anak didiknya. Yang terjadi adalah suasana kelas menjadi menegangkan bagai penjara bagi para tahanan.
Kedua, penguasaan terhadap materi pelajaran dan metode mengajar. Materi pelajaran adalah seperangkat bahan pelajaran yang diberikan guru kepada seorang anak didik untuk dikuasainya. Pada tahap ini, guru harus mempersiapkan tema-tema tertentu sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan. Hanya saja, harus diimbangi dengan bacaan-bacaan buku baru yang sesuai dengan perkembangan zaman dan juga kritis terhadap fenomena sosial yang terjadi. Sehingga, tatkala anak didik bertanya tentang persoalan-persoalan baru yang berkembang, guru tidak menjawabnya berdasarkan argumentasi-argumentasi masa lalu yang sudah usang. Seperti, --sebagaimana kasus yang pernah penulis temui—seorang siswa Islam bertanya tentang hukum memberikan ucapan Selamat Hari Natal kepada teman-teman Kristennya. Pertanyaan ini tidak langsung penulis jawab, tetapi dilempar ke siswa yang lain. Dan yang mengejutkan penulis adalah bahwa seluruh perserta menjawab dengan “haram”. Mengherankan lagi, para siswa tidak mengerti argumentasi-argumentasi teologis (berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-Hadits) dan alasan-alasan sosiologis, serta historis. Walaupun akhirnya, penulis dapat meyakinkan bahwa hukum memberikan ucapan Natal adalah “halal”. Karena hukum haram tersebut muncul berdasarkan tafsir kebencian umat Islam terhadap umat Kristiani. Dan hukum halal dalam konteks Indonesia sesungguhnya lebih bermanfaat bagi kelangsungan kerukunan bangsa dan Negara.
Sedangkan pada tahap penguasaan metode, guru harus mampu secara variatif menggunakan metode yang digunakan dalam proses pembelajaran, sehingga lebih fleksibel dan menyenangkan. Secara umum, dikenal 2 (dua) model pembelajaran, yaitu paedagogi dan andragogi. Paedagogi adalah model pembelajaran yang memposisikan guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek. Guru adalah sumber pengetahuan dan siswa sasaran pengetahuan. Guru sebagai orang paling pintar, siswa sebagai orang bodoh.
Menurut seorang pakar pendidikan dari Brazil Paulo Friere, model pendidikan seperti ini adalah model pendidikan gaya bank (bank style). Siswa ibarat “celengan” yang setiap dapat diisi sesuka hatinya oleh guru. Pada masa orde baru, pendidikan model ini sangat dominan karena Negara dalam jangka panjang berkehendak agar warga Negara dapat mudah dikontrol dan mengikuti semua kemauan Negara. Akibat langsung dari model pendidikan seperti ini adalah kurangnya kritisisme siswa terhadap persoalan yang ada, sehingga out putnya menjadi generasi-generasi yang tidak mempunyai kepekaan social.
Namun, sebagai penolakan terhadap model pendidikan paedagogi tersebut, muncul wacana baru model pendidikan andragogi, yaitu model pendidikan yang memposisikan guru sebagai subyek dan siswa sebagai subyek. Konsekwensi dari model pendidikan ini adalah, bahwa bukan hanya guru sebagai sumber pengetahuan tetapi juga siswa, bukan hanya guru yang pintar tetapi juga siswa. Dengan cara pandang demikian, tentunya setiap guru dan siswa ada kemauan untuk belajar bersama, saling tukar pengetahuan dan informasi, serta yang lain. Model andragogi ini, mensyaratkan adanya penerimaan untuk saling mengkritik dan dikritik. Khusus untuk guru, tidak boleh “menthang-menthang” sebagai guru. Hanya karena siswa berbeda dengan guru, guru menghadapinya dengan emosional. Hanya dengan model andragogi, siswa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Melalui andragogi ini, guru juga dituntut peka terhadap problem-problem yang dihadapi oleh siswa. Terdapat 2 (dua) factor yang mesti harus diperhatikan guru, yakni siswa sebagai bagian dari kolektifitas kelasnya dan siswa sebagai individu. Siswa sebagai bagian dari kolektivitas kelasnya merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan guru. Di sini, guru harus mampu menangkap secara psikologis homogenitas dan hitrogenitas siswa yang sedang mengikuti pelajaran yang disampaikan. Guru juga harus mampu membaur dengan siswa agar materi pelajaran yang sedang dibahas lebih mudah untuk dielajari. Umpama mengambil posisi pada saat mengajar, seperti duduk, berdiri, atau jalan. Bahkan sangat mungkin, siswa diajak ke luar kelas untuk belajar bersama dengan posisi duduk melingkar. Yang terpenting adalah bagaimana guru secara kreatif dan dinamis mengambil peran layaknya siswa yang diajarnya.
Sedangkan sebagai individu, siswa merupakan pribadi yang tumbuh dengan perbedaan latar belakang yang dimilikinya. Masing-masing siswa mempunyai cita-cita, harapan-harapan, dan masalah hidup yang berbeda. Sehingga, dalam banyak kasus, kadang-kadang ditemui pada saat proses pembelajaran ada siswa yang pendiam padahal kalau di luar kelas sosok siswa yang banyak bicara, di sisi lain ditemui di kelas ada yang banyak bicara padahal di luar sosok yang pendiam. Bahkan, seringkali siswa di kelas itu ramai sekali sehingga sulit dikendalikan. Di sini, guru harus terbuka dengan siswa-siswanya. Bahkan kalau perlu 24 jam, guru dapat menjadi tempat bgai siswa umtuk saling tukar pikiran.
Untuk mendukung apa yang telah dikemukakan di atas, secara teori guru harus melibatkan 3 (tiga) komponen pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan lingkungan. Dengan kata lain, dalam menghadapi siswa, guru tidaklah cukup bekerja sendiri. Penting sekali, keluarga dan lingkungan di mana siswa itu tumbuh untuk dijadikan bagian penting dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa, dan juga untuk meningkatkan prestasi siswa.
Beberapa problem dan solusi di atas merupakan homeshooling yang dapat diterapkan di sekolah. Dan guru mempunyai peran besar untuk membuat sekolah yang menyenangkan bagi siswa-siswanya. Kuncinya adalah pada model dan metode yang digunakannya untuk mengajar. Bukan hanya penguasaan terhadap materi pelajaran. Homeschooling dapat menjadi alternative metode pembelajaran di sekolah, karena metode ini merupakan pengembangan dari model pendidikan andragogi, di mana siswa dilihat sebagai anak dewasa yang terus belajar, atau pendidikan memanusiakan manusia. Dengan demikian, metode homeschooling dan model pendidikan andragogi merupakan pendidikan yang paling layak untuk diterapkan pada siswa-siswa di sekolah.



____________________
* Penulis adalah Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 7 Surabaya